Bismillah...
Jum’at siang, selepas sholat Jum’at, saya prepare untuk
ngopi ke kawasan air terjun Dolo. Berangkat dari rumah sekitar jam 2 siang.
Singkat cerita, perjalanan sudah sampai di jalanan
pegunungan. Adem dan mempesona :)
Ketika sampai di pintu loket wisata, ternyata udah sangat
sepi, dan bahkan penjaga loket pun sepertinya sudah pulang semua, terlihat dari
kosongnya ruangan dan lampu malam yang sudah dinyalakan. Yaa, Alhamdulillah
jadi hemat 30 rb an, karena g perlu bayar tiket. Wkwk...
Di depan pertigaan, kami bingung menentukan arah, yang
tadinya rencana mau ke air terjun Dolo (naik lagi sekitar 6 km an), akhirnya
kami pilih ke air terjun Irenggolo, yang pintu gerbangnya udah ada depan mata
:D Jelas aja, jam segitu mau naik lagi pasti dinginnya g ketahan.
Ketika masuk, terlihat sudah sepi pengunjung, atau malah
jangan-jangan pengunjungnya tinggal kami saja :o Terlihat banyak sekali warung
yang sudah tutup. Akhirnya kami putuskan untuk menuju warung yang agak masuk ke
arah jalan setapak menuju air terjun.
Masuk ke dalam warung, kami langsung disapa dengan sangat
sopan oleh ibu penjaga warung. Dan karena di depan terdapat daftar menu yang
menunjukkan beberapa nama kopi yang masih ‘asing’, kami pun coba untuk bertanya
sedikit dengan beliau, sebelum akhirnya kami memesan 2 cangkir kopi. Karena
kami belum sholat Ashar, kami pun ijin untuk sholat Ashar dulu sebelum
menikmati kopi.
Dan di sinilah terdapat cerita yang sebenarnya horor, tapi
jadinya lucu XD
Ketika berjalan menuju Mushola, tetiba dari arah depan ada
anjing berlari kencang ke arah kami sambil menggonggong. Sontak saja kami pun
lari ketakutan. Saking paniknya, kami lari ke arah yang beda, saya menuju dalam
warung sambil teriak : “Buuuk toloong Buk, anjingmu ngejar.. “
Si ibu warung dengan santainya bilang : “Tenang aja Mas,
jangan lari, kalau lari malah di kejar.”
Oke, fine ! Soal teori itu aku juga tau. Cuma untuk
meyakinkan diri ini agar tetap diam ketika ada anjing berlari siap menerkam itu
sulit ! Terlalu spekulatif, cuma ada 2 pilihan saat diam, yaitu teori tersebut
benar ATAU saya digigit beneran ! L
*HembuskanNafasPanjang*
Akhirnya, anak bungsunya ibu warung itu keluar, masih kecil
sih, mungkin masih SD, dengan tampang ‘cool-nya’ dia panggil si anjing, lalu
diikatnya dengan rantai di dekat warung. Jelas aja dia berani, lhawong ternyata
dia juga yang ngasuh anjingnya dari umur 7 hari an -.-“
Oke, lupakan tentang si Anjing tadi. Eh iya lupa, nama
anjingnya, Gogo. Mungkin karena.. atau.. aahhhh, lupakan soal anjing galak itu
!
Setidaknya ketegangan tadi terobati oleh dinginnya air wudhu
yang benar-benar alami dari gunung, juga Musholla yang meskipun kecil, tapi
sangat bersih, bahkan mukena yang dipakai teman saya pun juga bersih. Top deh,
untuk ukuran Mushola di tempat wisata :D
Setelah ini baru inti cerita yang sebenarnya, baca terus Gaess :p
Oke, selesai sholat kopi sudah siap :D Lezatos :p
Kami tadi pesan 2 jenis kopi yang berbeda, masing-masing
adalah kopi luwak alas, dan kopi lanang luwak alas. Ya, bedanya cuma satu kata,
Lanang. Dalam bahasa Jawa, lanang berarti Laki-laki. Penyajiannya pun terbilang
istimewa jika dikategorikan tradisional, gulanya tidak langsung dicampur, tapi
ditaruh di satu gelas tersendiri. Jadi kopinya benar-benar murni seduhan kopi
dan air saja.
Saat kami ingin menikmati kopi tersebut, datanglah seorang
bapak pemilik warung, yang ternyata adalah pengolah kopi luwak tersebut.
Alhasil, selama menikmati kopi, kami pun ngobrol banyak hal soal kopi.
Jadi, ternyata kopi di sini bukan dari perkebunan kopi,
melainkan dari tanaman kopi liar yang ada di pinggiran jalan. Jenis kopinya
adalah robusta, jadi sedikit di bawah arabica. Dan luwaknya pun adalah luwak
liar, sehingga benar-benar kopi pilihanlah yang dimakan oleh luwak tersebut.
Yang lebih menarik, ternyata usaha kopi ini sudah ada sejak jaman penjajahan
Belanda, dan tergolong industri yang cukup besar. Seingat saya dari cerita
kemarin, salah satu pembesarnya dikenal dengan nama nDoro Sinyo.
Pembicaraan semakin hangat, saya pun menyertainya dengan
menyeruput kopi tanpa gula yang luar biasa enaknya. Teman perempuan saya pun
mencobanya, daaan minumnya sambil merem-merem. Ahaha... lucu banget lihat
ekspresinya merasakan pahitnya kopi dan dia sungkan mau komentar, karena ada
bapak pemilik warung tadi.. Ahaha... Sabar yaa :p Oiya, mungkin gegara ini juga, si bapak warung tiba-tiba manggil dia dengan sebutan Putri Kopi. wkwkwk...
Oke, lanjut.
Di tengah obrolan, tiba-tiba datang lagi seorang bapak yang
memperkenalkan diri bahwa dia orang yang tinggal di situ. Saat suasana semakin
gelap, dan ternyata juga tidak ada lampu di situ, eh si bapak yang barusan
datang tadi malah nyeritain tentang hal-hal mistis di gunung tersebut. Ya meskipun
juga cerita banyak tentang sejarah di gunung tersebut, termasuk tentang pernah
adanya bandara di gunung tersebut.
Lanjut soal kopi, dari bapak pemilik warung tadi saya
akhirnya tau perbedaan 2 kopi yang kami pesan tadi. Gini, keduanya sama-sama
dihasilkan dari tanaman kopi liar, dan melalui proses dalam pencernaan luwak
liar. Namun, saat proses pemilihan (pembersihan) ada biji kopi yang utuh satu,
dengan satu guratan, dan itulah cikal bakal dari kopi lanang luwak alas,
sedangkan kopi sisanya, yang sebenarnya juga sudah pilihan, itu adalah kopi
luwak alas.
Soal rasa, keduanya sama-sama enak, artinya sama-sama pahit,
cuma tidak membekas di lidah. Dan jika kopi luwak alas rasa pahitnya fokus satu
titik di lidah, berbeda dengan kopi lanang luwak alas yang rasa pahitnya
langsung menyebar ketika diminum. Ketika saya tanya ke teman saya pun, ternyata
jawabnya sama. Namun, teman saya baru cerita kalo kepalanya sempat pusing pas
minum kopi itu. Tapi itu wajar, karena dia g biasa minum kopi.
Harga satu sachetnya sih cuma 10-15 rb, tapi kalau udah
diseduh jadi 20-25 rb :D Ada juga yang sachet harga 30 rb, nah untuk yang satu
ini saya agak tercengang. Jadi, kopi sachet yang 30 rb ini, dengan jenis yang
sama, tapi dibranding secara eksklusif dan dijual di bandara, persachetnya bisa
sampai 350 rb lebih ! Bayangkan, kekuatan branding sedang bermain di sini,
dengan sedikit teknik, keuntungannya bisa sampai 6x lipat lebih. Makanya saya g
mau sebutkan merknya di sini :p :p :p
Terakhir, yang g kalah menarik adalah cerita tentang statment
dari seorang GM perusahaan kopi terkenal. Ketika ada event di sebuah hotel di
Kediri, pak GM ini mencoba merasakan kopi khas dari tempat tadi, dan berkata
yang kurang lebih seperti ini : “Dari panas sampai dingin, kopi ini taste-nya
tetap” Bayangkan, seorang GM perusahaan kopi terkemuka di negeri ini berani
keluarkan statement yang seperti itu J
Dan karena sudah Maghrib, kami ijin untuk sholat dulu. Ketika
hendak sholat, si bapak yang jadi penghuni daerah situ tadi mengatakan kepada
kami tentang Musholla di tempat itu, dia menyebutnya dengan sebutan ‘Sanggar
Pamujan’. Ini bahasa Jawa, tapi sudah sangat jarang sekali dipakai, karena
artinya adalah tempat pemujaan, ya emang benar sih secara bahasa, bisa
diartikan sebagai tempat ibadah. Tapi, dengan bahasa yang seperti itu, di
lingkungan hutan, dan benar-benar sudah gelap, bahasa seperti itu lebih
cenderung ke arah klenik. Akhirnya, ketika menuju Musholla yang memang sudah
sangat gelap, teman saya ngajak untuk pulang, dan mencari Musholla di bawah
saja. Dia sudah sangat takut rupanya. Karena jujur, saya sendiri pun juga
sedikit khawatir, apalagi beberapa kali bapak yang tadi menawarkan untuk
bermalam di sana. Padahal tidak ada penginapan di sana, yang ada Cuma gubuk-gubuk
warung tanpa lampu. Jadi, langsung pulang adalah pilihan yang tepat. Cuss ahh
Itulah tadi serentetan cerita panjang di balik serunya ngopi
di kawasan air terjun :D
Ternyata, kopi itu jenisnya buanyaaak. Bukan hanya jenis
tanamannya saja, tapi juga cara tanamnya, cara petiknya, prosesnya, bahkan cara
minum dan cara jualnya. Semuanya menarik dan penuh filosofi. Makanya sampai ada
film berjudul ‘Filosofi Kopi’. Dan, kopi juga termasuk salah satu komoditas
andalan Indonesia loh Gaes. Jadi, sudah sejauh mana pemahamanmu soal kopi ?
Jangan kalah sama temanku dong :p
0 komentar:
Posting Komentar